Pagi itu 20 Desember 2023, kami para guru bertemu di tempat yang tak biasa. Jika biasanya pagi hari di hari kerja kami berkumpul di ruang guru untuk melakukan briefing. Kali ini, kami berkumpul di bandara untuk melakukan Teachers’ trip menuju Singapura dan Malaysia. Kunjungan kami ke dua negara ini bukan tanpa tujuan, tentunya dengan membawa amanah dari yayasan YAIBB yang telah menjadi sponsor utama kami untuk menyerap sebanyak-banyaknya ilmu selama perjalanan.
Langit masih cerah saat kami mendarat di Negeri Singa. Tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda dengan negara sendiri. Cukup membuat saya takjub melihat kemewahan Changi International Airport. Terlebih, ketika menggunakan eskalator di bandara. Orang-orang yang menggunakan eskalator tertib menggunakan jalur kiri untuk berjalan pelan atau berhenti dan jalur kanan digunakan bagi pengguna yang sedang terburu-buru. Kami yang baru tiba pun dengan agak kaku menyesuaikan diri dan merasa tidak enak jika menghambat perjalanan orang ketika terlalu lama berada di jalur kanan.
Setelah melalui beberapa gate (gerbang) terminal, sampailah kami pada gerbang imigrasi. Proses imigrasi yang biasanya dijaga oleh petugas dengan membawa stempel negara yang kemudian akan dicap di paspor yang kami bawa tidak kami temukan di Singapura. Kali ini berbeda, proses imigrasi yang kami lalui sungguh canggih karena sudah digantikan autogate dengan teknologi biometrik yang meliputi mata, wajah, dan sidik jari. Cara menggunakannya juga cukup mudah. Kami hanya perlu memindai paspor, scan sidik jari dan foto.
Masih di bandara dan kami tetap dibuat takjub dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki Singapura. Hal ini dikarenakan adanya Air Terjun di dalam bandara yang bisa kami akses secara gratis setelah keluar dari terminal. Jewel Changi sebutannya. Dalam penelusuran daring, Air terjun buatan setinggi 40 meter ini dikelilingi 2000 jenis pohon yang menjangkau 120 spesies yang berasal dari berbagai negara seperti Australia, Cina, Malaysia, Spanyol, Thailand dan Amerika Serikat. Pepohonan ini ditanam dan disusun sehingga menghasilkan taman yang menakjubkan dan nyaman.
Singapura tidak memiliki kekayaan alam seperti Indonesia. Tak punya air terjun alami maupun gunung-gunung api yang menjulang gagah. Namun mereka merawat infrastruktur dan membuat wisata dengan teknologi canggih mereka. Hal ini dibuktikan begitu kami memasuki bus dan menelusuri jalanan di Singapura, jalanan sangat bersih dan bunga-bunga terlihat bermekaran dimana-mana. Bunga yang dibawa dari luar negeri kemudian ditanam dan dirawat sedemikian rupa sehingga bisa tumbuh dengan cantiknya. Semua kekayaan alam serba terbatas, namun, kata sang Tour leader “tapi Tuhan memberikan 1 untuk Singapura, yaitu Singapura tidak pernah terjadi gempa” oleh karena itu mereka bisa membangun gedung-gedung pencakar langit sebagai ganti dari tanah mereka yg terbatas. Sehingga sepanjang mata memandang bangunan-bangunan tinggi terlihat.
Hal menarik lainnya tentang Singapura adalah mereka sangat tegas terhadap aturan. Sepanjang berjalan kaki ke tempat-tempat wisata tak kami temukan sampah sekecil apapun. Undang-Undang Kesehatan Lingkungan Publik Singapura telah mengatur yaitu pelanggar pertama kali akan dikenakan biaya peringatan sebesar 300 dollar Singapura atau setara dengan Rp 3,1 juta. Bahkan peraturan ini diterapkan kepada semua kalangan, jadi siapa pun yang tidak patuh pada aturan ini, akan mendapat denda dengan nominal fantastis tersebut.
Terkait rokok juga telah diatur dalam regulasi negara dan menjadi hal yang ilegal. Meskipun merokok dilarang di sebagian besar ruang publik, namun otoritas Singapura telah menyediakan tempat khusus untuk merokok di beberapa lokasi tertentu (Designated Smoking Areas/DSA). Di beberapa destinasi wisata seperti Orchard Road atau Chinatown, para perokok dapat memperhatikan sign yang dipasang di jalan yang menunjukkan lokasi-lokasi DSA. Apabila ada yang merokok tidak di tempat khusus yang telah disediakan, maka dikenakan hukuman denda hingga SGD 200. Selain itu, usia minimal untuk merokok adalah 19 tahun, pelanggaran terhadap aturan usia ini dapat dikenakan denda sampai dengan SGD 300.
Perjalanan singkat ke Singapura ini membuat saya melakukan refleksi bahwa segala keterbatasan yang dimiliki Singapura justru membuat negara ini menjadi negara maju. Maka mencari tahu dan berfokus kelebihan apa yang kita punya ternyata adalah hal yang penting dan membuat kita maju. Jika dikembalikan dengan kondisi di sekolah dengan lahan yang terbatas. Maka, sama seperti Singapura berfokus pada kelebihan, peningkatan kualitas kemampuan sumber daya manusia, peraturan yang tegas namun mengayomi serta unggul dalam digitalisasi akan membuat kita menjadi sekolah yang maju.
***
Negara kedua yang kami kunjungi adalah tetangga terdekat Indonesia, yaitu Malaysia. Kami melewati perbatasan Singapura melalui jalur darat dengan membawa serta semua barang bawaan kami turun dari bus dan mengantri di imigrasi. Proses imigrasi meskipun belum digital namun berjalan sangat tertib dan cepat karena dibantu jumlah petugas yang sangat banyak. Kami pun kembali menaiki bus dan melakukan perjalanan ke Kuala Lumpur sekitar 5 jam.
Adzan magrib baru berkumandang saat kami sampai di Kota tempat menara kembar Petronas berada. Begitu memasuki negara ini kesan pertama saya adalah Negara yang ramah. Berbeda dengan Singapura yang didominasi oleh orang Tionghoa, Malaysia didominasi oleh penduduk Melayu, India, dan China. Pembauran berbagai suku dan budaya serta sangat welcome dengan pendatang menguatkan kesan bahwa negara Malaysia adalah Negara yang memiliki toleransi tinggi.
Selama perjalanan di bus saya berusaha memahami lokasi dengan memantau melalui google maps dan melihat pemandangan dari jendela. Negara ini sudah memiliki tata kota yang baik, wilayah pemukiman, food center, dan pemerintahan terbagi menjadi wilayah-wilayah khusus. Hal ini menjadi kelebihan karena menjadikan negara ini tidak bising meskipun masih dijumpai macet di hari- hari tertentu (weekend dan liburan sekolah).
Kami berkesempatan pula mengunjungi kantor Google Malaysia yang terletak di Kuala Lumpur. Di lantai 20-an dari Axiata Tower kami bertemu dengan pihak Google yang sebelumnya telah dihubungi oleh perwakilan dari sekolah kami yaitu Bunda Lefi. Kami dikumpulkan dalam ruang meeting yang unik dan memiliki warna khas google: biru, hijau, merah, dan kuning. Selama 1 jam kami diberi penjelasan terkait “Google School Reference” (GSR) dan contoh sekolah di Malaysia yang telah menjadi GSR. Google sebagai salah satu perusahaan digital ternama memiliki program Google Reference School (GRS) yang dapat difungsikan sebagai penggerak terwujudnya sekolah-sekolah digital berkelas dunia.
Berdasarkan kunjungan ke Malaysia ini, ternyata unggul dalam digitalisasi bisa diraih pula dengan menjadi Google School Reference. Proses yang harus dijalani mungkin panjang tapi insyaAllah guru-guru SMPIT Modern BIS akan mampu melaluinya.
BY : NURIDA SARI DEWI